Ontology
Dalam bahasa Inggris
berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada dan ontos berarti keberadaan, logos
berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000).
Ontologi menurut A.R.
Lacey, ontologi berarti ‘” a
central part of metaphisics” (bagian
sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which
comes after physics, … the study of nature in general (hal yang hadir setelah
fisika, … studi umum mengenai alam)
Berdasarkan asal katanya Metafisika dapat diartikan (Bahasa
Yunani: μετά (meta) = “setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) = “hal-hal di
alam”) adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat
objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.
Metafisika mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas?
Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Pembahasan
ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi
terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika
menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu
pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan
lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu,
metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang
metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk
pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam
ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini
(Jujun, 2005).
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat
wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih
berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari paham Supernatural ini lahirla
tafsiran-tafsiran cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya bahwa
terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini amat
bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan
karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat
diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti
itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata,
sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.
Dari naturalisme dan suprnaturalisme tersebut,muncul berbagai paham
lainnya ,baik berdasarkan jumlah,sifat dan prosesnya.
Berdasarkan jumlah:
·
Monoisme :
hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. baik yang asal berupa materi ataupun
berupa rohani. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya.Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe.
·
Dualisme :
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda
dan roh, jasad dan spirit.
·
Pluralisme :
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui
bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary
of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas.
Berdasarkan Sifat:
·
Materialisme : aliran
ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
·
Idealisme : hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi zat
itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan rohani.
Berdasarkan Proses
·
Mekanisme
menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa
dapat dijelaskan berdasarkan asas fisika dan kimia.
·
Teleologi
·
(serba tujuan),
berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab
akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam ke suatu tujuan.
·
Vitalisme,
memandang
bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika, kimia, karena
hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
·
Organisisme
(lawannya
mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu struktur yang
dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan
tetapi yang utama adalah adanya sistem yang teratur.
Berbeda halnya dengan
telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga
saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah
merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan
tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai
pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan
zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut
paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat
dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini
berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang
bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas
ada.
Setiap ilmu selalu
memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan
merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat
diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu
yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi
diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002)
menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan
adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu
obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada
Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan
diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa
asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis
merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis
merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan
kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah
payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang
digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya,
memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi
menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan
menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi
yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari
hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta
atau data.
Terdapat beberapa jenis
asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa
memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.Postulat.
Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta
yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam
suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan
dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Paham determinisme
dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes
(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang
dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan
dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh
nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki
kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak
memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu
sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin
bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa
jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula
masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat
keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua
tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat
probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa
peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu.
Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat
deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan
modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode
statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti
suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%,
sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya
kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat
deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu
asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan
pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari
ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik.
Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap
individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub
deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan
tengahnya.
Ilmuwan melakukan
kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu
memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap
hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersifat mutlak.
Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan
teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu
kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat
peluang.
Seberapa banyak asumsi
diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin
sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan
berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang
kian sempit menjadi diperlukan.
Cabang
cabang ilmu
Ilmu berkembang pesat beserta dengan
cabang cabangnya. Hasarta untuk menspesialsiakan diri pada suatu bidang telaah
memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan obyek forma(obyek
ontologis) dari disiplin keilmuan yang makin terbatas. Cabang ilmu berkembang
menjadi dua cabang yaitu Ilmu alam(natural sciences dan filsafat moral yang
berkembang menjadi cabang ilmu-ilmu sosial(social Sciences). Ilmu alam membagi
diri menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam(Physical sciences) dan ilmu hayat
(bioligical sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam
semesta sedangkan alam lagi bercabang menjadi fisika(masa dan energi),
kimia(substansi zat), astronomi (benda-benda langit), dan ilmu bumi( bumi masa
kini).
Ilmu sosial berkembang agak lambat
dibandingkan dengan ilmi alam. Terdapat cabang atropologi(manusia dalam
perspektif waktudan tempat), psikologi(mempelajari proses mental dan kelakuakn
manusia), ekonomi (manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses
pertukaran), sosiologi(struktur organisasional manusia), politik(sistem dan
proses dalam kehidupan manusia berpemerinthan dan bernegara).
Disamping ilmu alam dan sosial,
pengetahuan mencakup juga humanifora dan matematika. Humanifora terdiri dari
seni, filsafat, agama, bahasa, dan sejarah. Matematika bukan ilmu melainkan
cara berpikir deduktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar